Di gedug fakultas
tarbiyah UIN Bandung (1/10-2013), aku menanyakan "Takdir" dan
"Kodrat' kepada Atu.
Pluralitasnya
membuat aku mengiyakan pendapat Ahmad Wahib yang mengatakan bahwa Fiqh
Islam perlu di ganti
karena sudah ketinggalan jaman.
Dia menjawab
demikian karena aku menghubungkan 'Takdir' dan 'Kodrat' dengan fenomena Dena
Rachman
Kata atu, takdir itu
ada 2, yang tidak bisa dirubah dan yang sulit dirubah. Kematian bisa termasuk
yang pertama, tetapi bentuk tubuh atau jenis kelamin yang zaman dulu juga
termasuk bagian pertama, menurut ku sudah bisa
Dimasukkan ke
kategori ke dua karena perkembangan zaman.
Kembali ke Dena
Rachman, aku selalu bingung, bagi orang-orang yang seperti mereka, mereka akan
selalu
Berapologi,
"Kalian tidak tahu apa yang orang-orang seperti saya rasakan." dan
dari pihak yang kontra akan selalu
Menitik beratkan
ke 'Kodrat' yang seharusnya mereka jaga.
Dan uniknya, dari jaman dulu, antara para pelaku dan para yang tidak setuju
selalu mengeluarkan pendapat yang itu-itu saja sehingga dari dulu sampai
sekarang tidak akan pernah ada titik terang tentang masalah itu karena pendapat
yang diusulkan selalu berputar-putar disana saja.
Dalam kasus Dena
Rachman, aku belum bisa membenarkan dan tentu saja aku tidak bisa
menyalahkannya juga.
Aku teringat saat
aku masih duduk di kelas dua SMA. Aku yang sangat tertarik dengan musik-musik
Westlife dikritik oleh teman ku yang lebih menyukai musik-musik keras. Dalam
pendapatnya, cowok seharusnya tidak boleh mendengarkan musik yang
lembut-lembut, karena itu tidak menggambarkan kekuatan yang seharusnya
merupakan ciri khas bagi kaum adam. Tapi, aku langsung menangkis kritiknya
dengan pepatah kuno bahwa akan berbeda jenis ikannya di lubuk yang berbeda. Dan
itu bisalah disambungkan dengan kasus Dena Rachman.
Pada hari jumat
(27/9-2013) saat aku sedang makan siang bersama Ukoy, temanku yang berbeda
jurusan dan fakultas, aku juga sempat membahas tentang masalah ini. Walaupun
bukan tentang Dena Rachman, tapi lebih luas lagi ke masalah Transexual,
homosexual dan bisexual. Dalam pertemuan ini, Ukoy berpandapat bahwa itu memang
salah. Dia mengkaitkan dengan berbagai hal dalam islam, termasuk diciptakannya
makhluk yang berpasang-pasangan supaya tidak adanya hal-hal yang seperti topik
yang kami bicarakan. Ukoy langsung membawa kemasalah 'Akal' saat aku katakan
bahwa peneliti bahkan telah menemukan ada lebih dari 40 spesies didunia ini
yang merupakan Homosexual dan Bisexual, termasuk jerapah, lumba-lumba hidung
botol, dan angsa hitam. Manusia memeliki
akal yang jelas -jelas membedakan manusia dengan hewan-hewan disekelilingnya.
Mereka hanya memuaskan nafsu, sedangkan manusia harus menggunakan akal untuk
mengetahui benar dan buruk. Tapi sayangnya, diskusi empat mata yang sangat seru
tersebut terpotong oleh waktu yang memaksanya untuk kembali ke kelas kuliahnya. Tapi, dari pendapat temanku
itu, aku sempat menganggukkan kepala dan
membenarkan pendapatnya. Tapi, aku
kembal lagi mempermasalahkan 'Takdir' dan 'Kodrat'. Seandainya seseorang yang
terlahir dengan sifat seperti itu,
berarti mereka ditakdirkan memang seeprti itu, dong. Tapi, kenapa malah
maasalahnya dititik beratkan ke 'Fisik' bukan 'Psikologis'nya.
Untuk sekarang,
lupakan dulu yang namanya dosa atau pahala. Banyak yang bilang, bahwa (kembali
keatas) manusia diciptakan berpasang-pasangan, jadi pria harus menikahi wanita
(atau level rendahnya mencintai) bukan malah sesamanya. Orang-orang yang
berpendapat sama dengan seperti itu melupakan yang namanya 'nafsu'. Entah
kenapa bagi mereka 'Nafsu' itu sugguh sangat jelek. Mereka seperti memang sengaja melupakan yang
namanya 'Nafsu' karena itu sangat berkaitan erat dengan dosa. Okelah kalau
nafsu itu mengarah ke nafsu seksual. Tapi, walaupun demikian, tetap saja itu
tidak akan pernah adil. Seorang pria-contohnya- harus menahan nafsu seksual nya
sebelum menikahi wanita impiannya. Tapi, bagaimana dengan kaum yang punya
ketertarikan seksual dengan jenis sepertinya sendiri? Mereka harus menahan
nafsu seksualnya, dan akan selalu begitu. Sedangkan nafsu itu diciptakan untuk
dipenuhi, bukan ditahan (setidaknya bukan untuk selama-lamanya karena itu
termasuk menyiksa diri sendiri). Sedangkan mereka, dilarang untuk memenuhi
nafsu seksualnya . Nafsu itu memang untuk dikendalikan, tapi tetap saja juga
harus dipenuhi. Seorang Hetero bisa memuaskan nafsu seksualnya setelah menikah.
Bagaiamana dengan nasib para Homoseksual?
Tidak jauh berbeda
dengan kasus Dena Rachman. Fisik lahirnya yang laki-laki dianggap lebih penting
dari pada Psikologisnya yang bahkan tidak ada sedikitpun lelakinya. Kalau memang orang-orang seperti ini
diciptakan tetapi harus mempertahankan apa yang dia peroleh dari lahir, sungguh
menyedihkan sekali hidup ini. Itu sama saja artinya mereka diciptakan untuk
sengsara.
Di sudut lain, ada
seorang bayi yang terlahir sumbing misalnya, tapi akhirnya dioperasi supaya
fisiknya terlihat proposional. Apakah ada yang menganggap itu salah? Pasti ada
sih walaupun Cuma 0,001% dari jumlah manusia di dunia. Tapi, kenapa orang-oang tidak mepermasalahkan
'Takdir' yang telah bayi itu peroleh? Mereka langsung membawa ke malasalah
Psikologis. Pertanyaan saya, kenapa kasus yang diatas tidak disamakan saja
dengan kasus yang ini? Anggap sajalah orang-orang seperti Dena Rachman itu
terlahir cacat, tapi, dengan merubah jenis kelaminnya itulah dia bisa menjadi
proposional.
Saya bukanlah tuhan.
Begitupun juga dengan anda yang membaca tulisan ini. Dan menurut saya didunia
ini tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah. Itu semua tergantung dari
kacamata yang kita pakai. Benar atau salah itu hanyalah pendapat subjektif seseorang
atau kelompok.
Lebih jelas lagi,
saya meyakini, takdir adalah apa yang sedang terjadi saat ini, detik ini juga.
Masalah Transeksual dan Homoseksual menurut saya semuanya bebas berendapat dan
tidak ada yang benar dan salah. Hanya saja saya merasa adanya ketidak adilan dalam
kehidupan jika adanya patokan 'benar dan tidak' berdasarkan perspektif orang
atau kelompok tertentu, apalagi untuk menghakimi orang yang mereka tidak tahu
sepenuhnya.
:)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar