Aku kaget dan menoleh
kebelakang. Kulihat Rio yang berlari kecil kearahku dengan keringat yang sedikit
membasahi keningnya yang polos. Cuacanya terlalu panas siang ini tapi aku tetap
tidak bisa melepas jaketku karena malah akan semakin membuat kulitku perih. Aku
bukannya manja, tapi aku hanya tidak
terlalu tahan dengan hawa yang sangat panas seperti ini karena aku berasal dari
puncak bogor yang siangnya saja masih sesejuk seperti pagi disini.
“Zi,
elu kemaren kenapa?” dia memasang wajah penasaran yang amat sangat perlu
jawaban atau dia akan mati saat itu juga seperti ikan yang kekurangan air untuk
berenang kalau saja tidak segera aku jawab. Sedangkan aku Cuma mengangkat kedua
alis dan kedua pundakku pertanda bahwa aku tidak tahu apa maksudnya.
“Tadi
Lona cerita sama gue. Dia bilang elu selingkuh. Apa itu bener?” aku mungkin
tidak melompat tapi aku kaget. Aku memang bertengkar dengan Lona sudah dua hari
tapi aku tidak percaya kalau Lona menceritakan itu semua kepada Rio. Manusia
paling kepo yang merasa teman sejatinya Lona dan mengaku bahwa mereka sudah
berteman sejak mereka SD. Dan lebih parahnya lagi, dia menjadi seorang wartawan
disaat waktu yang tidak tepat dan dengan pertanyaan yang tidak tepat juga,
serta dengan orang yang seratus persen salah. Dan yang paling aku sesalkan
adalah, kenapa Rio sangat mudah sekalli percaya dengan Lona? Aku Cuma bilang,
“Hah?” sambil diikuti suara tawa yang ditahan dan bibir menyunggig senyum. Aku
merasa tidak ada yang perlu dijawab atapun hal lain yang pelu dilakukan didepan
Rio saat ini juga selain membalikkan punggungku dan melanjutkan perjalanan yang
tertunda.
“Zi,
Lu gila ya. Cinta Lona jangan lu sia-siain dong.” Sedangkan aku sudah menjauh
tiga langkah didepannya seolah dia tidak berkata apa-apa. Tapi karena merasa
dicuekkin, namaku dipanggilnya sampai tiga kali dengan suara lantang tapi tak
ku dengar.
“Dasar
orang gila lu, Zi!” teriaknya. Aku yang sudah sekitar sepuluh meter didepannya
berbalik arah dan menuju kearahnya dengan santai. Wajahnya yang tiba-tiba pucat
membuatku ingin tertawa, tapi aku sengaja tidak melakukannya. Karena yang perlu
aku lakukan adalah Cuma berkata dengan suara pelan saat sudah berada
disampingnya, “dan Elu itu orang yang bego, Yo. Orang gila diajak ngobrol.”
Rio
aku tinggalkan dibelakangku. Apa yang
dia lakukannya, entahlah. Biarlah dia berkembang. Sedangkan didepanku berdiri seorang gadis
cantik yang bernama Meta. Akupun menghampirinya dan bersamanya aku langsung
menaiki angkot yang dari tadi seolah menungguku dan langsung tancap gas ketika
kami menaikinya. Saat aku menoleh kekampus, aku melihat Rio dengan wajah
kagetnya seolah berkata,”Ternyata Lona bener” dan lalu membalikkan badannya dan
berlari. Mungkin dia mau mencari Lona. Ataupun mungkin Cuma mau berlari saja.
Siapa peduli kalau ternyata dia adalah seorang cowok dengan masa kecil kurang
bahagia?
Meta
adalah seorang penari yang baru pindah ke Bandung baru-baru ini karena ia
mendapat pekerjaan baru sebagai guru tari di salah satu SMA swasta di Bandung.
Untuk sementara waktu, dia menginap di kontrakanku yang seharunya diisi oleh
aku dan keempat temanku, tapi masih ada satu kamar kosong tersisa untuk tamu
dan itu digunakan oleh kakakku untuk beberapa waktu ini. Dan karena pendatang
baru, maka wajarlah kalau sudah seminggu ini aku kemana-mana dengannya dan hampir
tidak ada waktu untuk bersama Lona. Dan kalau seandainya Lona menjadi risih, ya
itu masalahnya bukan masalahku. Karena setahu ku, dia itu adalah hanya seorang
pacar dan bukanlah orang tuaku yang harus aku kabari setiap lima menit. Orang
tuaku saja tidak sampai begitu. Lha, kalau begitu dia siapa dong? Entahlah. Bisa
mati kering aku kalau dia harus dipikirkan terus.
“jadinya
kita kemana, teh?” gara-gara Rio, aku jadi lupa mau kemana. Tapi, kakakku malah
megambill BBnya yang disimpan di tas dan mengetikkan sesuatu lalu diberikannya
kepadaku. “Katanya ke BEC. Jadi, ga?” dan begitulah katanya kalau dia
berbicara. Tapi nyatanya itu adalah tulisan yang aku baca dari layar BBnya. Ya
ampun. Ternyata berbicara itu sulit, ya? Akupun
mengembalikan BBnya sambil menjawab pertanyaannya dengan bibirku dan
tentu saja mengeluarkan suara juga dan kalau digabungkan maka berbunyi, “Iya
teteh. Jadi.” Tapi kakakku mengetikkan sesaatu lagi dan memberikanna kepadaku
dan sesuatu tertulis seperti larangan untuk berbicara saat ini.
“Ke..”
belum sempat aku menyelesaikan kata tanyaku, dia langsung menyenggolkan kakinya
ke kakiku dan lalu mulai mengetik lagi. Kali ini dia mengetik lebih cepat dan
lebih lincah dari yang aku bayangkan. Dan sebuah tulisan, “Heh, anak kecil
nurut! Entar teteh jelasin!” ia berikan kepadaku.
“Okeh!
Eh!” aku langsung menutup kedua mulutku reflex. Gila! Aku jadi terbawa dengan
imajinasi gilanya. Aku sering sekali jadi korban imajinasi gilanya yang merasa
seolah dia bisa melihat sesuatu yang aku tidak bisa dan merasakan sesuatu. Ya
tuhan. Ini cobaan apa lagi?
Saat
turun dari angkot untuk transit ke angkot lain, aku tidak sabar untuk bertanya.
Tentu saja setelah membayar jasa pak supir yang baik hati dan budiman itu. Dan
jawaban dari kakakku jelas sekali membuatku menyesal seumur hidup telah
menanyakannya.
“Ada
makhluk aneh yang ikut menumpang angkot bareng kita. Dan dia bukan hantu atau
jin yang sering aku lihat. Tapi, apakah dia baik atau tidak, nah itu yang aku
belum tahu. Yang penting, kita harus waspada.”
“Lha?
Hubungannya dengan tidak boleh bicara kenapa?”
“Aku
Cuma takut dia bisa masuk ketubuh mausia lewat mulut. Itu saja.”
Aku
terpaku. Diam dan tak berkutik.
Sebuah
angkot warna hijau lewat dan aku segera menahannya. Kali ini, angkotnya masih
kosong dan hanya ada kami dan pak supir yang ada didepan. Aku tidak bersuara
karena memang tidak perlu. Tapi, sms yang baru aku terima membuat aku kesal dan
ingin aku berhentikan angkot ini lalu aku mutilasi pak supirnya buat dijadikan
sop untuk anjing tetanggaku di Bogor. Lona mengirimkan sebuah pesan yang
terlihat seperti ancaman dan itu membuatku sangat jijik.
“Sayang, aku
lagi otw ke BEC. Ketemu di foodcourtnya. Awas! Entar semua diantara kita
dibeberkan kalau ga datang!”
Hah? Dibeberkan? Apanya yang
harus dibeberkan? Setahu ku malah gara-gara aku pacaran dengannya selama dua
bulan ini, aku ibaratkan selebritis yang selalu dikejar-kejar infotainment.
Sungguh sangat memalukukan dan berbanding terbalik dengan siapa aku sebenarnya.
Tapi, aku tetap mencoba mendinginkan otakku.lagian, aku juga sedang menuju ke
BEC dan sekalian aja menunjukan batang hidungku yang sudah mulai berkomedo
karena perawatannya sudah teralihkan olehnya.
Di BEC, aku langsung menuju ke
foodcourt dan meminta izin tentunya ke Meta, tapi aku Cuma bilang bahwa aku
harus pergi ke toilet dan itu satu-satunya alasan supaya dia tidak membuntutiku
terus. Dan dengan sedikit izin dari orang sakral ini, akupun langsung bergegas
menuju kelantai teratas melalui elevator. Meta yang melihatku sepertinya yakin
karena tingkahku. “Saking kebeletnya, bukannya ke toilet malah masuk lift.
Orang aneh.” Kira-kira begitulah bahasa yang keluar dari mimiknya saat aku
melihatnya di detik-detik pintu tertutup yang kemudian menghalangi pandanganku
kepadanya.
Dilantai foodcourt, aku segera
mencari seseorang yang memakai baju biru. Setidaknya itu yang aku lihat saat
tadi pagi dia dikampus. Tapi kayanya tidak mungkin soalnya dia pasti akan
menukarnya kalau mau kemana-mana setelah dari kampus. Hampir lima menit diatas
sana, tapi aku tidak menemukannya. Akupun memilih untuk duduk di salah satu
meja yang kosong. Aku menunggu sambil memutar-mutarkan kepalaku untuk menemukan
wajah yang sudah membuatku kesel setengah mati. Mungkin sudah lima belas menit
aku disini, tapi dia tetap tidak aku temukan. Namun, seseorang yang sedang
berjalan sambil melihat kekiri dan kekanan yang lumayan jauh dariku itu
terlihat sangat familiar. Sial! Kenapa Meta bisa ada disini? Bisa kiamat nih
jadinya. Seketika, seperti mendengar jeritan dari hatiku, dia langsung
menemukan yang dia cari. Siapa lagi kalau bukan aku? Dan dia tersenyum sambil
berjalan kearahku. Sumpah! ekspresinya saat menunjuk-nunjukkan jari telunjuk
kearahku mengingatkanku pada Mariah
Carey di Video Clip Touch My Body-nya yang sedang melakukan hal yang sama
kepada cowok di video Clip itu. Dan hal yang kedua yang aku fikirkan saat itu
adalah, “ember mana ember? Gue pengen muntah!”
“Tadi aku ketemu pacar mu!”
katanya polos bersamaan saat dia duduk.
“Hah?” sumpah, aku kaget
setengah mati. Kenal dari mana dia?
“Dia dibawah tadi bareng pria
botak.”
“Oh. Rio”
“Dia ngancam teteh, loh!”
ujarnya bernada bangga.
“Hah? Terus?” dan ini aku lebih
kaget lagi, “Dia bilang apa?”
“Jauhin Rozy atau elu gua
gampar!” ujar kakakku santai.
“Terus, tetah bilang apa?”
“Ya, diem aja. Masa orang gila
diladenin.” Aku tersenyum bangga mendengar jawabannya. Pertama kali dalam
seumur hidup aku bangga karena Meta.
“Itu aja?” aku masih penasaran
“Ya ditampar lah.” Ujarnya
dengan nada polos seperti anak kecil.
“Haaaaah?” suasana sontak
terdiam. Semua orang melihat kearah kami berdua. Mulutku ternganga lebar dan
sebuah lalat terbang keluar dari dalamnya. Tunggu! Apakah aku baru saja bilang
sebuah lalat? Namanya kaget, wajarlah, “teteh nampar dia?”
“Teteh yang ditampar.” Dia
mengelus-elus pipinya yang konon pernah dinobatkan sebagai pipi terseksi
mengalahkan Madonna menurut majalahnya sendiri yang belum pernah tercetak
apalagi sampai dibeli orang banyak.
“Hah?” dan kagetku semakin naik.
“Hah hoh hah hoh! Ya teteh lah
yang nampar dia. Sejak kapan orang penting ini ditampar? Bisa kiamat ini
dunia!” dan untuk kesekian kalinya aku terdiam. Aku tidak tahu harus senang
atau sedih.
“Oya, dia bilang, yang cowok itu
pacar barunya.”
“Ha….” Seharusnya aku
mengucapkan ‘hah’ lagi, tapi dia buru-buru menutup mulutku.
“Itu kan, orangnya?” aku melihat
kebelakang kearah yang dtunjukkan Meta. Seperti yang akku duga, dia telah
mengganti bajunya menjadi warna merah dengan celana biru. Akupun langsung
berdiri dan pergi kearah mereka yang baru saja duduk.
Saat aku berada dimeja mereka, aku
berdiri cukup lama dengan kedua tangan yang aku kepalkan dan menghantam meja
yang mereka duduki. Awalnya mereka kaget, tapi lalu berpura-pura seolah aku
tidak ada.
“Hey, tau cewek itu, ga?” aku
menunjuk kearah Meta yang aku belakangi. Disana, aku melihat Meta
melambai-lambaikan tangan kanannya bak Miss Universe yang gagal menang. Hampir
saja aku kehilangan konsentrasiku karenanya. Lona yang mulai merespon omonganku
melihat ke objek yang aku tunjuk. Dengan ekspresi yang setengah takut, seperempat berani dan seperempatnya lagi
menyombongkan diri, dia menjawab, “Iya dong. Cewek gila seperti itu yang pengen
pasti Cuma orang gila juga, dong. Iya kan, sayang” ujarnya kepada Rio yang saat
aku melihatnya dia mengangguk dengan setengah ketakutan.
“Itu cowok baru lu?” aku
menunjuk beberapa centi didepan hidungnya Rio.
“Oh, iya, gue lupa. Rozy,
sekarang, dengan disaksikan seribu orang yang ada di foodcourt ini, kita putus.
Dan perkenalkan ini cowok baru gue yang bernama Rio Puji Dewoso.” Ujarnya
sambil berdiri bak permaisuri yang baru dilantik menjadi bupati garut
menggantikan Aceng Fikrul yang baru-baru ini punya skandal bak Ariel Noah. Dan
seketika hening. Lalu tiba-tiba anak kecil menangis entah kenapa.
“Oh, putus?” aku tersenyum sinis
kearah Rio, “Syukur deh. Eh ini cowok baru lu?” aku mununjuk tepat dikepala
botaknya. Dan Lona mengangguk dengan senyum buatan yang mungkin katanya
tercantik sedunia. “Perkenalkan, cewek yang disana itu namanya Meta,” Lona
menunjukkan ekspresi tidak mau tahu, “Kakak kandung gue.”
“Haaaaah” mereka kompak sekali
saat kaget.
“Hah hoh hah hoh! Makan tuh Hah
sampe kenyang.” Aku kembali menuju ke meja Meta dengan aura kemenangan seolah
habis dari perang di Palestina dan memenangkan peperangan itu. Dan semua orang
yang ada disini seolah berteriak “Horeeeee!!!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar