Senin, 28 Oktober 2013

Haaah?!

“Zi, Tunggu! Gue mau ngomong!”
                Aku kaget dan menoleh kebelakang. Kulihat Rio yang berlari kecil kearahku dengan keringat yang sedikit membasahi keningnya yang polos. Cuacanya terlalu panas siang ini tapi aku tetap tidak bisa melepas jaketku karena malah akan semakin membuat kulitku perih. Aku bukannya  manja, tapi aku hanya tidak terlalu tahan dengan hawa yang sangat panas seperti ini karena aku berasal dari puncak bogor yang siangnya saja masih sesejuk seperti pagi disini.
“Zi, elu kemaren kenapa?” dia memasang wajah penasaran yang amat sangat perlu jawaban atau dia akan mati saat itu juga seperti ikan yang kekurangan air untuk berenang kalau saja tidak segera aku jawab. Sedangkan aku Cuma mengangkat kedua alis dan kedua pundakku pertanda bahwa aku tidak tahu apa maksudnya.
“Tadi Lona cerita sama gue. Dia bilang elu selingkuh. Apa itu bener?” aku mungkin tidak melompat tapi aku kaget. Aku memang bertengkar dengan Lona sudah dua hari tapi aku tidak percaya kalau Lona menceritakan itu semua kepada Rio. Manusia paling kepo yang merasa teman sejatinya Lona dan mengaku bahwa mereka sudah berteman sejak mereka SD. Dan lebih parahnya lagi, dia menjadi seorang wartawan disaat waktu yang tidak tepat dan dengan pertanyaan yang tidak tepat juga, serta dengan orang yang seratus persen salah. Dan yang paling aku sesalkan adalah, kenapa Rio sangat mudah sekalli percaya dengan Lona? Aku Cuma bilang, “Hah?” sambil diikuti suara tawa yang ditahan dan bibir menyunggig senyum. Aku merasa tidak ada yang perlu dijawab atapun hal lain yang pelu dilakukan didepan Rio saat ini juga selain membalikkan punggungku dan melanjutkan perjalanan yang tertunda.
“Zi, Lu gila ya. Cinta Lona jangan lu sia-siain dong.” Sedangkan aku sudah menjauh tiga langkah didepannya seolah dia tidak berkata apa-apa. Tapi karena merasa dicuekkin, namaku dipanggilnya sampai tiga kali dengan suara lantang tapi tak ku dengar.
“Dasar orang gila lu, Zi!” teriaknya. Aku yang sudah sekitar sepuluh meter didepannya berbalik arah dan menuju kearahnya dengan santai. Wajahnya yang tiba-tiba pucat membuatku ingin tertawa, tapi aku sengaja tidak melakukannya. Karena yang perlu aku lakukan adalah Cuma berkata dengan suara pelan saat sudah berada disampingnya, “dan Elu itu orang yang bego, Yo. Orang gila diajak ngobrol.”
Rio aku tinggalkan dibelakangku. Apa  yang dia lakukannya, entahlah. Biarlah dia berkembang.  Sedangkan didepanku berdiri seorang gadis cantik yang bernama Meta. Akupun menghampirinya dan bersamanya aku langsung menaiki angkot yang dari tadi seolah menungguku dan langsung tancap gas ketika kami menaikinya. Saat aku menoleh kekampus, aku melihat Rio dengan wajah kagetnya seolah berkata,”Ternyata Lona bener” dan lalu membalikkan badannya dan berlari. Mungkin dia mau mencari Lona. Ataupun mungkin Cuma mau berlari saja. Siapa peduli kalau ternyata dia adalah seorang cowok dengan masa kecil kurang bahagia?
Meta adalah seorang penari yang baru pindah ke Bandung baru-baru ini karena ia mendapat pekerjaan baru sebagai guru tari di salah satu SMA swasta di Bandung. Untuk sementara waktu, dia menginap di kontrakanku yang seharunya diisi oleh aku dan keempat temanku, tapi masih ada satu kamar kosong tersisa untuk tamu dan itu digunakan oleh kakakku untuk beberapa waktu ini. Dan karena pendatang baru, maka wajarlah kalau sudah seminggu ini aku kemana-mana dengannya dan hampir tidak ada waktu untuk bersama Lona. Dan kalau seandainya Lona menjadi risih, ya itu masalahnya bukan masalahku. Karena setahu ku, dia itu adalah hanya seorang pacar dan bukanlah orang tuaku yang harus aku kabari setiap lima menit. Orang tuaku saja tidak sampai begitu. Lha, kalau begitu dia siapa dong? Entahlah. Bisa mati kering aku kalau dia harus dipikirkan terus.
“jadinya kita kemana, teh?” gara-gara Rio, aku jadi lupa mau kemana. Tapi, kakakku malah megambill BBnya yang disimpan di tas dan mengetikkan sesuatu lalu diberikannya kepadaku. “Katanya ke BEC. Jadi, ga?” dan begitulah katanya kalau dia berbicara. Tapi nyatanya itu adalah tulisan yang aku baca dari layar BBnya. Ya ampun. Ternyata berbicara itu sulit, ya? Akupun  mengembalikan BBnya sambil menjawab pertanyaannya dengan bibirku dan tentu saja mengeluarkan suara juga dan kalau digabungkan maka berbunyi, “Iya teteh. Jadi.” Tapi kakakku mengetikkan sesaatu lagi dan memberikanna kepadaku dan sesuatu tertulis seperti larangan untuk berbicara saat ini.
“Ke..” belum sempat aku menyelesaikan kata tanyaku, dia langsung menyenggolkan kakinya ke kakiku dan lalu mulai mengetik lagi. Kali ini dia mengetik lebih cepat dan lebih lincah dari yang aku bayangkan. Dan sebuah tulisan, “Heh, anak kecil nurut! Entar teteh jelasin!” ia berikan kepadaku.
“Okeh! Eh!” aku langsung menutup kedua mulutku reflex. Gila! Aku jadi terbawa dengan imajinasi gilanya. Aku sering sekali jadi korban imajinasi gilanya yang merasa seolah dia bisa melihat sesuatu yang aku tidak bisa dan merasakan sesuatu. Ya tuhan. Ini cobaan apa lagi?
Saat turun dari angkot untuk transit ke angkot lain, aku tidak sabar untuk bertanya. Tentu saja setelah membayar jasa pak supir yang baik hati dan budiman itu. Dan jawaban dari kakakku jelas sekali membuatku menyesal seumur hidup telah menanyakannya.
“Ada makhluk aneh yang ikut menumpang angkot bareng kita. Dan dia bukan hantu atau jin yang sering aku lihat. Tapi, apakah dia baik atau tidak, nah itu yang aku belum tahu. Yang penting, kita harus waspada.”
“Lha? Hubungannya dengan tidak boleh bicara kenapa?”
“Aku Cuma takut dia bisa masuk ketubuh mausia lewat mulut. Itu saja.”
Aku terpaku. Diam dan tak berkutik.
Sebuah angkot warna hijau lewat dan aku segera menahannya. Kali ini, angkotnya masih kosong dan hanya ada kami dan pak supir yang ada didepan. Aku tidak bersuara karena memang tidak perlu. Tapi, sms yang baru aku terima membuat aku kesal dan ingin aku berhentikan angkot ini lalu aku mutilasi pak supirnya buat dijadikan sop untuk anjing tetanggaku di Bogor. Lona mengirimkan sebuah pesan yang terlihat seperti ancaman dan itu membuatku sangat jijik.
“Sayang, aku lagi otw ke BEC. Ketemu di foodcourtnya. Awas! Entar semua diantara kita dibeberkan kalau ga datang!”
                Hah? Dibeberkan? Apanya yang harus dibeberkan? Setahu ku malah gara-gara aku pacaran dengannya selama dua bulan ini, aku ibaratkan selebritis yang selalu dikejar-kejar infotainment. Sungguh sangat memalukukan dan berbanding terbalik dengan siapa aku sebenarnya. Tapi, aku tetap mencoba mendinginkan otakku.lagian, aku juga sedang menuju ke BEC dan sekalian aja menunjukan batang hidungku yang sudah mulai berkomedo karena perawatannya sudah teralihkan olehnya.
                Di BEC, aku langsung menuju ke foodcourt dan meminta izin tentunya ke Meta, tapi aku Cuma bilang bahwa aku harus pergi ke toilet dan itu satu-satunya alasan supaya dia tidak membuntutiku terus. Dan dengan sedikit izin dari orang sakral ini, akupun langsung bergegas menuju kelantai teratas melalui elevator. Meta yang melihatku sepertinya yakin karena tingkahku. “Saking kebeletnya, bukannya ke toilet malah masuk lift. Orang aneh.” Kira-kira begitulah bahasa yang keluar dari mimiknya saat aku melihatnya di detik-detik pintu tertutup yang kemudian menghalangi pandanganku kepadanya.
                Dilantai foodcourt, aku segera mencari seseorang yang memakai baju biru. Setidaknya itu yang aku lihat saat tadi pagi dia dikampus. Tapi kayanya tidak mungkin soalnya dia pasti akan menukarnya kalau mau kemana-mana setelah dari kampus. Hampir lima menit diatas sana, tapi aku tidak menemukannya. Akupun memilih untuk duduk di salah satu meja yang kosong. Aku menunggu sambil memutar-mutarkan kepalaku untuk menemukan wajah yang sudah membuatku kesel setengah mati. Mungkin sudah lima belas menit aku disini, tapi dia tetap tidak aku temukan. Namun, seseorang yang sedang berjalan sambil melihat kekiri dan kekanan yang lumayan jauh dariku itu terlihat sangat familiar. Sial! Kenapa Meta bisa ada disini? Bisa kiamat nih jadinya. Seketika, seperti mendengar jeritan dari hatiku, dia langsung menemukan yang dia cari. Siapa lagi kalau bukan aku? Dan dia tersenyum sambil berjalan kearahku. Sumpah! ekspresinya saat menunjuk-nunjukkan jari telunjuk kearahku  mengingatkanku pada Mariah Carey di Video Clip Touch My Body-nya yang sedang melakukan hal yang sama kepada cowok di video Clip itu. Dan hal yang kedua yang aku fikirkan saat itu adalah, “ember mana ember? Gue pengen muntah!”
                “Tadi aku ketemu pacar mu!” katanya polos bersamaan saat dia duduk.
                “Hah?” sumpah, aku kaget setengah mati. Kenal dari mana dia?
                “Dia dibawah tadi bareng pria botak.”
                “Oh. Rio”
                “Dia ngancam teteh, loh!” ujarnya bernada bangga.
                “Hah? Terus?” dan ini aku lebih kaget lagi, “Dia bilang apa?”
                “Jauhin Rozy atau elu gua gampar!” ujar kakakku santai.
                “Terus, tetah bilang apa?”
                “Ya, diem aja. Masa orang gila diladenin.” Aku tersenyum bangga mendengar jawabannya. Pertama kali dalam seumur hidup aku bangga karena Meta.
                “Itu aja?” aku masih penasaran
                “Ya ditampar lah.” Ujarnya dengan nada polos seperti anak kecil.
                “Haaaaah?” suasana sontak terdiam. Semua orang melihat kearah kami berdua. Mulutku ternganga lebar dan sebuah lalat terbang keluar dari dalamnya. Tunggu! Apakah aku baru saja bilang sebuah lalat? Namanya kaget, wajarlah, “teteh nampar dia?”
                “Teteh yang ditampar.” Dia mengelus-elus pipinya yang konon pernah dinobatkan sebagai pipi terseksi mengalahkan Madonna menurut majalahnya sendiri yang belum pernah tercetak apalagi sampai dibeli orang banyak.
                “Hah?” dan kagetku semakin naik.
                “Hah hoh hah hoh! Ya teteh lah yang nampar dia. Sejak kapan orang penting ini ditampar? Bisa kiamat ini dunia!” dan untuk kesekian kalinya aku terdiam. Aku tidak tahu harus senang atau sedih.
                “Oya, dia bilang, yang cowok itu pacar barunya.”
                “Ha….” Seharusnya aku mengucapkan ‘hah’ lagi, tapi dia buru-buru menutup mulutku.
                “Itu kan, orangnya?” aku melihat kebelakang kearah yang dtunjukkan Meta. Seperti yang akku duga, dia telah mengganti bajunya menjadi warna merah dengan celana biru. Akupun langsung berdiri dan pergi kearah mereka yang baru saja duduk.
                Saat aku berada dimeja mereka, aku berdiri cukup lama dengan kedua tangan yang aku kepalkan dan menghantam meja yang mereka duduki. Awalnya mereka kaget, tapi lalu berpura-pura seolah aku tidak ada.
                “Hey, tau cewek itu, ga?” aku menunjuk kearah Meta yang aku belakangi. Disana, aku melihat Meta melambai-lambaikan tangan kanannya bak Miss Universe yang gagal menang. Hampir saja aku kehilangan konsentrasiku karenanya. Lona yang mulai merespon omonganku melihat ke objek yang aku tunjuk. Dengan ekspresi yang setengah takut,  seperempat berani dan seperempatnya lagi menyombongkan diri, dia menjawab, “Iya dong. Cewek gila seperti itu yang pengen pasti Cuma orang gila juga, dong. Iya kan, sayang” ujarnya kepada Rio yang saat aku melihatnya dia mengangguk dengan setengah ketakutan.
                “Itu cowok baru lu?” aku menunjuk beberapa centi didepan hidungnya Rio.
                “Oh, iya, gue lupa. Rozy, sekarang, dengan disaksikan seribu orang yang ada di foodcourt ini, kita putus. Dan perkenalkan ini cowok baru gue yang bernama Rio Puji Dewoso.” Ujarnya sambil berdiri bak permaisuri yang baru dilantik menjadi bupati garut menggantikan Aceng Fikrul yang baru-baru ini punya skandal bak Ariel Noah. Dan seketika hening. Lalu tiba-tiba anak kecil menangis entah kenapa.
                “Oh, putus?” aku tersenyum sinis kearah Rio, “Syukur deh. Eh ini cowok baru lu?” aku mununjuk tepat dikepala botaknya. Dan Lona mengangguk dengan senyum buatan yang mungkin katanya tercantik sedunia. “Perkenalkan, cewek yang disana itu namanya Meta,” Lona menunjukkan ekspresi tidak mau tahu, “Kakak kandung gue.”
                “Haaaaah” mereka kompak sekali saat kaget.

                “Hah hoh hah hoh! Makan tuh Hah sampe kenyang.” Aku kembali menuju ke meja Meta dengan aura kemenangan seolah habis dari perang di Palestina dan memenangkan peperangan itu. Dan semua orang yang ada disini seolah berteriak “Horeeeee!!!!”

Tidak ada komentar: