Selasa, 19 November 2013

Kutek


Apa di dunia ini yang tidak berubah? Tengadahkanlah kepalamu di siang yang berawan. Amatilah. Tunjuk satu bentuk awan yang kamu sukai, dan tetaplah mengamati. Apa yang kamu temukan? Cepat atau lambat, awan itu akan bergerak membuat bentuk baru yang mungkin saja tidak kau duga sebelumnya. Amatilah pohon yang ada disekitarmu. Yang besar dan berdiri tegap. Yang tahan walaupun topan datang berhembus. Tapi sedikit demi sedikit daunnya pun jatuh tak berdaya. Menyerahkan dirinya kepada cacing untuk segera diperbaharui. Berjalanlah sebentar ke sungai. Sekali lagi, amatilah. seandainya setiap air memiliki warna berbeda, takkan pernah ada warna yang sama yang akan kau temui. Mereka bergerak. Mereka Berubah.



Begitu juga dengan sekumpulan orang-orang itu. Dengan Dia. Dengan Kamu. Dan juga Aku. Namun terkadang, perubahan itu seperti lantai porselen licin yang masih basah setelah di pel. Salah dalam bergerak, maka kau akan terjatuh menyisakan sakit pada bagian tubuhmu.

Di kampus.

Warnanya merah cerah. Seolah menghidupi suasana yang kelabu. Dalam hitungan menit bisa dihitung berapa kali bunyi ketukan yang dihasilkannya. Setiap hari, setiap pagi, Tidak akan penah bosan aku memandangnya. Seandainya ada yang bertanya apa warna kesukaanku, maka itu jawabanku. Walaupun sebelumnya aku tidak pernah tahu, kenapa orang-orang bisa sampai menyukai suatu warna begitu gilanya. Semuanya berbeda tapi sama. Yaitu sekedar warna yang semakin indah dalam keberagaman. Tapi, Dia adalah satu-satunya orang yang mampu merubahku menjadi orang seperti itu. Dialah Linda.

"Kuning," Ujarnya saat dalam kesempatan kelompok wawancara aku menanyai warna kesukaannya. Jawabannya diluar dugaan. Aku bingung dibikinnya. Aku menanyakannya lagi, apa dia tidak menyukai warna merah?

"Iya, sih. tapi, ga sesuka sama kuning," Jawabnya singkat. Terlalu banyak pertanyaan yang ingin terucap. Namun, dalam hal ini itu terasa sangat memaksa. Walaupun—entah apa namanya—Linda bukanlah tipe orang yang suka dan mudah memberi senyum kepada orang lain, Tapi kalau berinteraksi langsung dengannya, juga tidak akan kita temukan kesan kesombongan, judes dan sebagainya. Dia tidak pendiam tapi juga tidak terlalu suka berbicara. Kesimpulanku, Dia adalah orang yang apa adanya. Berbicara kalau perlu, tersenyum kalau perlu dan menjawab kalau perlu.

Suatu hari, saat semuanya sudah menyelesaikan kuliah dan pergi entah kemana, Aku ditinggal sendiri di kelas. Sebenarnya, sebagai seorang kosma aku dibebaskan untuk tidak mengumpulkan tugas essay di mata kuliah yang satu ini. Tapi itu bukan berarti aku bisa berleha-leha atau menghabiskan waktu untuk kegiatan lain. Aku malah mendapatkan tugas untuk mengecek kelengkapan data dari mahasiswa sekelas yang jumlahnya sampai empat puluh kepala lebih. Ingin mengeluh rasanya. Namun, berkah itu selalu ada disela-sela kesengsaraan.

Sebuah benda kecil berwarna merah tergeletak begitu saja di depan kelas. Itu adalah kutek kuku milik Linda. Rahasia kuku merahnya yang cantik setiap waktu. Akupun memungutnya. Terasa ringan, entah karena memang beratnya segitu atau mungkin sudah habis. Bentuknya yang unik seperti lampion kecil membuat aku ingin menyimpannya. Besok seandainya terlihat Linda sibuk mencari sesutu, Sudah pasti ini yang dicari. Dan saat itulah aku akan membererikan ini kepadanya. Lalu dia berterimakasih dan bercerita tentang warna merah ini.

Sekarang sudah masuk di jam yang ketiga. Linda yang duduk dua bangku didepanku membuat hari ini aku tidak bisa menikmati kuku merahnya yang mempesona. Dan juga, dia tidak terlihat mencari sesuatu atau risih karena kehilangan benda yang penting baginya. Apa mungkin ini sengaja dibuang olehnya? Atau ini bukan punya Linda? Ingin rasanya aku bertanya, tapi apa jawabanku saat ditanya kenapa?

Dari jendela, aku bisa melihat seekor burung yang dengan congkaknya berdiri di puncak genteng tertinggi gedung yang berada tidak jauh dariku. Seolah-olah dia Raja dari segala burung yang menguasai kampus ini. Seakan ada daya tarik, Burung itu tiba-tiba mengarahkan pandangannya kearahku, mungkin, atau entah kemana, dan merasa terganggu sehingga dia segera meninggalkan singgasana kebesarannya.

"Anton, tolong ini dibawa ke meja bapak," Aku kaget, namun tetap bertindak normal. Saat berdiri dan melangkah kedepan, aku manfaatkan waktu itu untuk mencuri pandang ke jari Linda yang cantik. Tapi, betapa kagetnya aku. Kukunya tidak lagi berwarna merah. Bahkan kuku jempolnya terlihat ada sedikit bekas kikisan untuk membersihkan kutek. Aku pernah mellihat Ambar—Kakak perempuanku—menghapus kuteknya. Namun, dengan bantuan tiner, kuku tersebut bisa dibersihkan tanpa perlu dikikis. Sepertinya Linda sedang tidak suka kukunya di kutek, dan dia tidak punya tiner untuk membersihkannya.

Pulangnya, Aku mengejar Linda yang sudah jauh didepanku. Aku berniat untuk mengembalikan kuteknya yang mungkin ia cari-cari. Namun aku kehilangan jejak karena Linda tiba-tiba menyatu dengan kerumunan mahasiswa lainnya yang sedang berlalu lalang. Akupun kembali pulang dengan kecewa.

Dengan kamera handphone yang seadanya, aku potret benda langka tersebut dan aku masukkan kedalam blogku dengan caption, 'Merah, Bukan darah tapi seperti darah. Membuatku hidup'.

Seperti punyaku. Sebuah komentar datang beberapa menit kemudian dari seseorang yang bernama Lucifairy Beast. Apakah itu Linda? Apa mungkin dia adalah salah satu dari dua puluh lima followerku? Aku memeriksa para followerku. Sayangnya, Lucifairy itu ternyata tidak ada. Kamu siapa? Dan Dimana? Aku segera membalas komentarnya.

Satu menit. Dua menit. Sepuluh menit. Tiga puluh menit. Dia belum juga membalasnya. Haloooo, ketikku lagi tak sabar. Ah, ini bukan chatting. Harusnya aku tahu itu. Ini hanya sebuah blog yang ada fasilitas komentarnya. Setiap orang boleh saja berlalu lalang dan meninggalkan komentar di blogku tanpa inngin tahu apa pendapatku. Lalu pergi tak kembali lagi.

Lucifairy Beast dengan Hello Kitty sebagai avatarnya itupun aku klik. Dia tidak memfollow satu blogpun. Dan tidak ada link yang tercantum disana. Mungkin aku bias mengiriminya email, hanya itu yang ada.

Hai, beberapa menit yang lalu kamu mengmentari sebuah gambar yang saya posting di blog-ku yang alamatnya penanyakenapa.blogspot.com. Kalau boleh tau, kamu siapa, ya?

Dengan berharap penuh, aku tekan tombol send disudut kiri bawah monitorku. Sesekali aku reload halaman emailku, mungkin saja dia sudah membalasnya. Hamper setiap menit aku lakukan, tapi tetap saja tidak ada satu suratpun yang masuk.

Musik adalah satu-satunya yang bisa membunuh waktu. Sehingga menunggu bisa menjadi hal yang nikmati jika kita lakukan dengan mendengarkan musik. Pesan guru kesenian waktu SMA dulu terngiang-ngiang ditelingaku. Segera aku membuka folder musik yang aku simpan. John Mayer, Amy Winehouse, Matt Cab, Lady Antebellum dan lain-lainnya, aku kumpulkan dan aku dengarkan.

Melodi indah seketika merasuk ketelinga dan meresap ketubuhku seperti oksigen yang lalu melaju dan berdendang mengikuti irama jantungku. Benar, aku menjadi lupa apa yang aku tunggu. Hingga aku terlelap diatas meja berhadapan dengan komputerku. Tanpa mimpi.

Tok… tok… tok...

“Anton, ayo turun. Makan malam sudah siap.” Suara Ibu membangunkanku. Musik yang tadi aku dengarkan masih terus berputar. Sekarang sudah jam tujuh malam. Segera aku mengoneksikan komputerku dengan jaringan internet. Satu email masuk. Seseorang yag mengaku bernama Diana ingin menemuiku dan melihat benda itu secara langsung. Dan dia begitu serius karena dia juga meninggalkan nomer ponselnya untuk dihubungi.

Pukul Sembilan malam.

Aku duduk di sebuah meja paling pojok. Kaos oblong coklat, celana jeans panjang dan sepatu kets hitam membaluti tubuhku malam itu. Lampion merah kecil itu juga aku bawakan serta denganku. Kusimpan dia diatas meja disamping jus jeruk yang aku pesan. Terlihaat begitu bersih karna memang aku bersihkan saat dirumah.

Café yang sepi ini berdinding kaca membatasi ruangannya dan trotoar serta jalanan diluar. Aku bisa dengan leluasa melihat berbagai macam kenderaan berlalu lalang dijalanan tanpa terganggu oleh suara berisik dan debu-debunya. Saat Diana mengatakan dia ingin bertemu sekarang juga, Aku memilih tempat ini karena tidak jauh dari rumahku.

Seorang gadis berbaju merah dengan bawahan rok hitam pendek masuk . Terlihat ia mencari seseorang. Dikeluarkannya sesuatu yang ternyata ponsel dari tasnya. Bersamaan, ponselku bergetar. Ternyata benar, dia orangnya.

Sebagai pembukaan, sudah pasti kami berkenalan. Lalu diikuti dengan berbagai cerita tentang bagaimana dia bisa bertemu dengan blogku dan melihat gambar yang aku posting. Dia beranya bagaimana aku mendapatkan benda itu. Aku menjawabya jujur tanpa menyebutkan sedikitpun tentang linda dan kuku merahnya. Dia yang yakin bahwa itu miliknya menceritakan bahwa itu adalah kadonya untuk seorang teman yang ternyata teman sekampusku… Linda.

Aku bertanya apa hubungannya dengan Linda. Sayangnnya, jawaban yang dia berikan seperti sebuah kebohongan yang bisa ditebak. Namun aku yang kasihan dengannya yang memohon kepadaku untuk diberikan kepadanya benda ini, pertemuan itupun aku akhiri dengan menuruti keinginannya.

Pagi di kampus.

Linda mendatangi Au yang sedang menyusun lembaran kertas tugas mahasiswa lainnya dengan marah. Disodorkannya benda yang semalam aku berikan ke Diana.

“Maksudnya apa?” Dia terlihat berbeda dengan biasanya. Sepertinya ada masalah besar antara dirinya dan Diana sehingga itu membuatnya marah padaku. Aku mengajaknya ke kantin kampus untuk berbicara sejelas mungkin. Linda melunak dan mendengar ceritaku tentang kutek mungil itu.

Aku menanyakan apa penyebab dia begitu marah. Dan diapun menceritakan sesuatu yang sedari dulu aku ingin tanyakan. Tentang warna merah. Tentang kukunya yang membuat aku terpesona, entah sejak kapan. Yang ternyata disukainya karena dia mencintai orang yang menyukai warna merah seperti itu. Lalu apa hubungannya dengan ini? Dengan Diana? Tanyaku semakin bingung.

Diluar dugaanku, Dianalah orang yang dia cintai. Orang yang merupakan teman satu sekolahnya itu ternyata juga mencintainya dan memberinya kado kutek yang dari sejarahnya sangat berarti bagi Diana. Tapi, Hubungannya dengan Diana tidak seindah dan semudah yang dibayangkan. Tuga bulan lagi Diana akan dinikahkan dengan seseorang yang dia tidak ketahui. Linda marah dan tidak tahu harus berbuat apa, sehingga kutek yang selalu dia bawa kemana-mana sengaja dibuangnya.

Aku tidak pernah menyutujui ataupun melarang cinta sejenis sebelumnya. Aku tidak pernah tahu, dan tidak pernah mau tahu. Tapi, Linda yang saat itu menangis didepan mataku membuat aku mengerti, betapa cintanya Linda terhadap kekasihnya itu.

Obrolan dengn Linda tadi sangat membekas. Entah perasaan apa yang aku pedam untuknya, aku tidak tahu. Dulu aku menganggapnya cinta, tapi kalau seandainya aku mencintai Linda, harunya ada sedikit rasa cemburu saat mendengar ceritanya tentang Diana. Hatiku menjadi tak menentu.

Toko ini tidaklah ramai, tapi siapa yang memasukinya tidak akan pernah keluar dengan cepat. Begitu juga aku. Walaupun ini adalah toko yang menjual perlengkapan hadiah untuk cewek-cewek remaja dengan tembok yang ditempel wallpaper-wallaper keren berwarna pink, Aku merasa nyaman berada disini. Aku sengaja datang kesini untu membeli sesuatu. Setelah berkeliling sebentar, akhirnya aku pilih satu yang bagus untuk dibeli. Untungnya pada hari ini kuliah dimulai papa jam dua siang, sehingga aku bisa dulu ke toko ini.

Jarak yang jauh antara toko itu dengan kampus membuat aku terlambat bebeapa menit. Suasana kelas terlihat begitu serius dengan dosen yang tidak pernah tersenyum. Aku menutup pintu dan berjalan kebelakang mencari kursi kosong. Lalu, di meja yang ditempati Linda, aku tinggalkan hadiah yang aku beli sebelumnya tanpa melirik sedikitpun bagaimana reaksinya.

Dari jendela, kembali aku bisa melihat seekor burung yang congkak di ujung genteng yang sama. Entah itu burung yan sama atau tidak, entahlah. Yang jelas, sesaat setelah aku melihatnya dia terbang mengejar burung yang lainnya.

Aku menerima sebuah kertas yang diliat kecl kecil entah dari siapa. Lali ku buka.

“Apaan tuh?
eh, hati-hati, ya!
dia punya gue!”

Dibawahnya tertulis Eros.

Aku lirik orang yang duduk sebaris denganku di pojok kiri. Dipamerkannya sebuah kepalan tinju kepadaku. Entah kenapa, aku cuma tersenyum saja. Akupun membalas suratnya segera.

“Cinta ga bisa diancam.
Tapi tenang, dia Cuma temen kok.”

Di bawahnya ku tulis Anton.

Setelah kulipat, aku serahkan ke teman disampingku untuk menyerahkannya ke Eros.

Entah apa yang dirasakan Linda saat itu. Aku bukanlah orang yangbisa membaca gerak tubuh dari belakang. Apalagi seorang gadis dengan rambut yang menutupi bahu. Yang jelas, keesokannya aku senang, saat kulihat Kukunya kembali diketuk-ketukkannya kemeja seperti biasanya. Namun sekarang telah berubah warna menjadi kuning. Seperti yang dia suka.

“Bang Anton, warna kesukaannya apa?” Tanya sepupuku yang masih kecil saat berkunjung kerumahku. Aku tersenyum. Tanpa piker panjang akupun menjawabnya;

“Kuning.”

Tidak ada komentar: