Senin, 13 Januari 2014

Tersesat di Negeri Bedebah


Dipojok kanan kamar sewaanku, di samping jendela tepatnya, terdapat sebuah rak yang beberapa bulan lalu sengaja aku tempel disana untuk tempat sekumpulan buku-ku. Jumlahnya tidak banyak tapi buku tersebut terpaksa saling tumpang tindih karena raknya yang terlalu kecil. Entah kenapa pada sore itu aku merasa perlu untuk memerhatikan itu. Satu persatu buku kuperiksa hanya dengan tatapan mata hingga berhentilah pada sebuah buku yang berketebalan 400 halaman lebih. Jelek sekali, pikirku. Bukan. Bukan jelek sampulnya, isinya, buku secara keseluruhan aalagi penulis dan penerbitnya. Tapi fisiknya.


Beberapa hari lalu buku tersebut aku bawa kedalam tas entah mau kemana berharap jika menemukan tempat yang bagus dan sedang bosan bisa digunakan untuk membunuh waktu. tapi sialnya, cuaca tidak bersahabat. Hari itu adalah hari yang menyedihkan. Hari dimana hujan turun seperti menangisi sesuatu yang sangat menyedihkan. Dan ditempat dan waktu yang salah, aku bersama tas yang bukan water-proof itu pun basah. Dan buku  inipun menerima nasib yang sama. Namun sayangnya kertas yang basah tidak akan pernah kembali seperti bentuk semula setelah dikeringkan. Walaupun memakai hair dryer sekalipun. Dan memang kebetulan aku juga tidak tahu cara lain. Sehingga buruk rupa-lah jadinya nasib buku ini.

Melihat buku tersebut, akupun merasa penasaran. sudah hampir satu bulan tapi belum  pernah aku membacanya. Padahal, beberapa bulan yang lalu buku ini sempat membuat aku bingung saat berada di Toko Buku Gramedia. Aku tertarik dengan judulnya. Dan judulnya sukses membuat aku bingung harus memilih membeli buku ini atau buku lain yang berjudul dan bergenre berbeda. tapi, akupun akhirnya memilih buku yang lain. an sekarang, setelah beberapa bulan kemudian, setelah memilikinya, aku pun merasa harus membacanya. Dan halaman pertema pun dibuka suatu magrib itu. Sebuah buku yang berjudul Negeri Para Bedebah.

Satu menit, lima menit, satu jam, dua jam. Aku terus terlena membaca buku ini. Ini adalah buku pertama yang aku baca tetapi memiliki emosi yang sama saat menonton film. Ini adalah buku pertama yang aku baca yang dengan sendirinya sukses membuat aku ingin menjerit-jerit. Aku berjalan terus dan terus. menelusuri halaman per halaman dan dengan relanya mengumpulkan jejak-jejak yang bisa dijadikan sebagai kunci untuk membuka pintu yang telah dipenuhi oleh tanda tanya. Hingga tanpa sadar, saat menoleh ke kanan (Ke arah jendela), Dari celah yang aku lihat, sebuah cahaya pagi merasuk ke kamarku. Oh My God! Ini adalah buku pertama yang dengan cerita menariknya telah memaksaku untuk membacanya semalam penuh. Dari magribh hingga paginya. (Seandainya Tere Liye adalah teman dekatku, akan segera aku traktir baso tahu seporsi untuknya, deh ) Dan mengetahui telah pagi, aku masih tetap saja membacanya hingga tertidur dipagi itu. Dan dalam semalam, aku telah meninggalkan jejak mataku di lebih dari 300 halamannya. Menakjubkan.

Apa yang membuat aku takjub? Apa yang membuat aku kagum? Aku menyukai tokoh utamanya, Thomas. Seorang WNI keturunan Tionghoa yang memiliki masa lalu kelam tapi bisa tumbuh sukses dan menjadi seorang pemuda yang cerdas dan berpikiran tajam serta unya rencana yang mateng dan bisa melakukan hal-hal yang diluar dugaan saat terdesak. Suatu karakter yang secara psikologis sangat sempurna menurut saya. Dan sifatnya yang Pendendam tidak bisa menghambat karirnya karena dia punya cara berkelas untuk membalaskan dendamnya lah yang membuat aku betah.

Ceritanya memang dimulai dari pertemuannya dengan seorang gadis yanng juga seorang wartawan terbaik disalah satu media cetak yang menurut-ku sedikit membosankan karena terlalu panjang menjelaskan masalah ekonomi yang sama sekali tidak aku mengerti. Tapi jalan cerita yang mempertemukan Thomas dengan Masalah serta caranya menyelesaikan masalah tersebutlah yang membuatku hampir berteriak histeris.

Penerbangan dari london yang berjam-jam dan waktu tidur yang kurang pada malam itu tidak membuatnya kalut untk melakukan hal nekad yang menjadi pembuka konflik dalam novel ini. Yaitu menyelamatkan Om Liem (seseorang yang dia benci) dari jebakan musuhnya.

Cerita berjalan apik dan elegan serta didukung oleh karakter pembantu seperti Megi, Julia dan Rudi yang ikut membantu membuka gerbang penyelesaian masalah, sehingga dalam waktu dua hari, semua masalah besar yang dia hadapi bisa terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.

jika dilihat sekilas, memang ceritanya sedikit ke-hollywood-hollywood-an, tapi apa salahnya? Selama jalan ceritanya masuk akal (walaupun fiktif) dan bisa diterima sebagai hiburan. Ditambah lagi, disini saya senang karena Tere Liye menempatkan posisi Polisi bukan sebagai penangkap bodoh seperti halnya film india 90-an. Tapi, Tere Liye mampu membuat Polisi-polisi tersebut teap terlihat keren dengan segala bentuk rencananya walaupun pada akhirnya digagalkan oleh sang pemeran utama, Thomas.

Tapi, saya masih punya pertanyaan yang seprtinya tidak penting, "Kenapa polisi tidak mencari thomas dengan mengikuti jejak transaksi kartu kreditnya, ya?" karena jelas seakli polisinya terlihat canggih di dalam cerita ini.

Istilah ekonomi yang digunakan sepertinya penulis telah melakukan riset atau pbservasi senelumnya yang patut diacungi jempol, karena walaupun saya tidak terlalu mengerti tapi itu terlihat seperti benar-benar terjadi di kehidupan nyata.

Dan pada akhirnya, buku ini pun tamat dalam waktu kurang dari 24 jam dihari itu juga setelah dipotong oleh tidur.

Saat membaca buku ini, saya berharap sepenuh hati kepada Tuhan, siapapun boleh saja membaa buku ini. Kecuali mereka yang bekerja di film dan ingin memfilmkannya. karena, jika tuhan mengizinkan, bebrapa tahun kemudian, aku berharap akulah yang akan menggarap buku ini menjadi film. :)




P.S : This is just a STUPID opinion of a book that i just red. Not a SHIT just STUPID, okay. :)

Tidak ada komentar: