Selasa, 05 November 2013

Jangan...

Hanya terlihat sedikit kerlap-kerlip bintang di langit yang tak lagi biru. Jalanan yang sepi menambah kesan sakral malam itu. Sesekali bayangan dari lampu yang megenai benda-benda membuat Saya takjub. Betapa detailnya Tuhan menciptakan sesuatu. Sampah-sampah tergelatak dimana-mana yang seakan-akan sudah resmi menjadi jejak dari langkah manusia. Sekilas terdengar sekumpulan suara orang-orang yang sedang membicarakan sesuatu. Tidak jelas apa yang mereka bicarakan, namun sangat jelas bahwa itu tidak ada hubungannya sedikitpun dengan apa yang di ributkan oleh para tokek yang sesekali mencuri waktu untuk berirama. Sebuah mobil dengan lampu yang sangat terang bergerak dengan kecepatan sedang. Cahayanya berhasil membuat bayangan saya sendiri sekilas berjalan ditempat sampai akhirnya mobil itu melaju meninggalkan saya di belakang.


Entah jam berapa sekarang, Saya tidak perduli. Saya bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya saya pikirkan. Dan itu yang membuat saya menjadi bertanya, apa yang seharusnya saya pikirkan? Sedangkan kaki saya tanpa hentinya melangkah dengan tempo yang dinamis. Sesekalli saya harus memperlambat kecepatan dan berbelok sedikit untuk menghindari pohon atau benda lainnya yang entah kenapa bisa berdiam di trotoar. Yang saya tahu, Trotoar adalah karpet merah bagi pejalan kaki, yang harusnya memang hanya ada manusia disana, dan binatang, kalau mereka membutuhkannya.

Jangan hubungi aku lagi, katanya. Jangan ganggu aku lagi, katanya. Otakku seperti software canggih yang bisa dengan mudah mengutip kata-katanya tanpa izin dariku. Ada banyak kata-kata manisnya yang tidak terlupakan. Tapi tidak sedikit yang berawal dari kata 'jangan' yang entah apa maksudnya. Saya pernah mencoba membuka yang namanya kamus dan mencari arti dari kata aneh itu. Ternyata itu membuat saya semakin bingung.

Jangan hubungi aku lagi. Jangan, katanya. Sebuah kata yang merupakan larangan, tapi diikuti oleh kata lain yang membuat saya melakukannya lagi dan lagi. Tidak mungkin saya bisa berhenti hanya dengan satu larangan, jika ada banyak dorongan yang membuat saya melakukannya.

Jangan sakiti perasaan istriku, katanya. Saya bahkan tidak mengenal siapa yang dia bicarakan. Jadi, bagaimana saya bisa menyakiti seseorang kalau belum pernah bertemu sebelumnya?

Saya berhenti. Muncul sedikit penasaran untuk mengetahui seberapa jauh jalan ini telah saya lewati. Saya pun berbalik badan. Terlihat begitu jauh sebuah persimpangan jalan yang meupakan awal dari langkah ini setelah menuruni bus. Dan kaki saya kembali beraksi saat lampu hijau terlihat bersinar.

Otak saya yang sebenarnya berada di kepala sekarang seperti berpindah ke ujung kaki. Saya hanya bisa pasrah kemanapun kaki berkehendak. Sesekali saya berhenti dan menghindar untuk memastikan bahwa yang saya lihat itu bukanlah sesuatu yang membahayakan, walaupun pada kenyataannya hanya ranting yang terkena efek dari lampu jalan, Tapi saya tetap melakukannya.

Terlewatlah sebuah halte yang awalnya saya berharap bisa dijadikan sebagai tempat untuk memulihkan tenaga yang sudah berkurang terkuras keringat. Seseorang dengan pakaian yang entah itu apa, tertidur pulas memakan banyak tempat.  Membuat Saya kembali menjatuhkan prosesor canggih saya ke kaki. Terkadang lebih baik letih karena berjalan dari pada harus berurusan dengan orang yang entah masih punya semangat hidup atau tidak.

Sebuah getaran yang berpusat dari saku celana saya membuat saya sedikit sadar dari lamunan. Seseorang yang tidak pernah berhenti mengucapkan kata 'jangan' tersebut sekarang menghubungi saya entah kenapa. Sayangnya, saya bukanlah gadis spontan yang bisa langsung mengangkat telpon dari orang yang pentingnya mensejajarkan presiden bagi saya. Saya harus berfikir, seandainya ditanya sedang dimana, harus jujurkah saya? Pentingkah baginya? hingga akhirnya itu menjadi sia-sia karena bahkan dia tidak kembali menelpon untuk yang kedua kalinya. Dan itulah alasan kenapa saya sering menelponnya. Untuk memastikan kenapa sebelumnya dia menelpon.

Saya yang kemaren ternyata masih saya yang sekarang. Sudah saya putuskan untuk berbicara sejujurnya tentang keberadaan saya. Dan, dia saya telpon.

Dimana, tanyanya. Saya jawab jujur. Sedang apa, tanyanya. Saya jawab jujur. dan saya tanya, ada apa? Cuma iseng, jawabnya. Saya tutup telpon dengan kecewa. Seharusnya dia bilang sejujurnya kalau dia kangen berbicara dengan saya. Dia harusnya mengakui bahwa penyesalan terbesarnya adalah menikahi perempuan yang seharusnya bukan siapa-siapa. Dia harusnya bertanya, besok saya ingin makan malam dimana. Tapi, dan tetapi hanyalah tetapi yang tak punya kekuatan kalau sudah berurusan dengan kenyataan.

Setelah seedikit berfikir, Saya kembali menghubunginya. untuk kesekian kalinya, suara lembut seorang perempuan kembali terdengar. Suatu hal yang tidak baik membuat suara lembut itu tersedu. Namun saya bukan seorang aktris teater yang bisa berbasa-basi. Dia hapal suara saya, walaupun terkadang saya menelpon dengan nomer yang berbeda. Tangisnya kembali terisak diseberang sana saat saya tanya dimana suaminya.

Jangan ganggu aku lagi, katanya lagi merenggut telpon dari istrinya. Atau ku bunuh, ujarnya sebelum yang terdengar hanyalah suara kekosongan.



Dia ingin membunuh saya. Orang yang dengan lihainya membangun sensasi luar biasa saat bibir kami bersentuhan. Orang yang dengan lincahnya bercerita tentang kerasnya kehidupan saat kami saling berhadapan. Orang yang dengan apiknya menunjukan kegunaan lain dari ranjang saat kami tidur bersebelahan. Dan sekarang dia ingin saya mati?

Malam masih menggantungkan cahaya bintang yang sudah bisa terhitung jari. Dengan rasa yakin yang melebihi pasti, untuk menunjukkan bahwa saya punya rasa, semuanya masuk akal bagi saya. Rel ini begitu dingin saat telapak tangan saya menyentuhnya. Namun jeans yang membalut pantat ini membuatnya hanya terasa seperti lantai berpola kasar saja tanpa kedinginan yang menusuk.

Bersila. Angin yang bertiup sopan membuat saya mengantuk. Namun, tidak ada tanda-tanda kereta yang akan melaju disini. Sepertinya indah, saat bermimpi kita bertemu sang pencabut nyawa.

Getaran terasa lagi. Kali ini hanya pesan pendek yang saya terima. Hanya sebuah promo dari provider ternyata. Tapi, apa yang sedang saya lakukan ini ternyata berhasil membuat seorang anak yang mungkin sepuluh tahun mendekat, yang ternyata sejak tadi menonton pertunjukan monoton ini dari bawah pohon di balik tembok pecah yang saya belakangi. Mungkin kurangnya cahaya membuat dia menyatu dengan kegelapan.

Dia duduk disamping saya. lalu bertanya kenapa saya disini. Ada sesuatu hal yang harus saya kerjakan, saya menjawab. Lalu kami diam beberapa menit lamanya hingga akhirnya dia bercerita bahwa sudah terlampau sering dia menyaksikan orang-oang seperti saya disni. Berharap menemui ujung dari yang namanya hidup. Ada yang gelisah, ada yang sedih, ada yang sudah hampir kehilangan warasnya. tapi berakhir berbeda. Ada yang kembali berbalik arah dan entah kemana dan ada yang benar-benar kembali dengan meninggalkan jejak cairan amis berwarna merah. Namun, saya orang pertama yang Dia temui dalam keadaan hening seperti angin.

"Kalau kamu mati, kamu mau kemana?" Tanyanya yang tidak terdengar seperti orang seumurnya.

"Entahlah."

"Maksudku, kamu percaya surga dan neraka?"

"Entahlah."

Mungkin dia bosan dengan jawabanku yang selalu entahlah, Dia pergi dan saya kembali sendiri. Dalam kesendirian, saya kembali bertanya, Apakah benar surga dan neraka itu ada? Siapa yang pernah kesana?
Mana yang lebih bagus? Tapi, apa pentingnya bagi saya? Menghilang dan memudar dihidapan orang lain saja sudah luar biasa bagi saya. Untuk apa lagi surga? Panasnya sakit hati, sakitnya tertusuk rindu, itu neraka yang sudah membunuh saya. Lalu kenapa masih harus memilih?

Lagi-lagi, sebuah getar mengganggu saya. Pesan singkat yang saya terima ternyata diluar dugaan saya.

Lagi dimana? mau ngobrol bentar. Penting!

"Dari Rel." Sekarang saya duduk di sofa ruang tamu saya sendiri. Pesan pendek yang dia kirim membuat saya kembali untuk menemuinya. Mungkin mati adalah solusi yang diberikannya untuk hubungan ini yang semakin memburuk saja. Tapi, tidak menemuinya saat dia membutuhkan adalah lebih dari bunuh diri. Itu seperti membunuuhnya dengan tangan saya sendiri.

Dia bertanya banyak tentang kepergianku ke Rel. Saya menjawab sejujur mungkin tentang rasa cinta saya yang terlalu besar kepadanya, tentang istrinya yang sakit hati dan tentang dia yang ingin membunuh saya. Tapi, walaupun mati, sepertinya saya tidak akan tenang jika dia ada di dalam jeruji besi meratapi dan menyesali. Dibunuh oleh kereta mungkin solusi.

"Maaf, sudah berkata kasar," Matanya memerah seperti ingin menangis, "Tolong, jangan tinggalkan aku."

Saya berpindah duduk kesampingnya dan memeluknya erat. Dia menangis sejadi-jadinya mendengar betapa besar pengaruhnya di hati saya, sehingga saya rela mati untuknya. Tapi, tangisannya itu membuat saya semakin merasa bersalah karena berbicara terlalu jujur kepadanya. Entah kenapa, apa yang diucapkannya melalui telpon itu seakan terhapus secara permanen saat berada disisinya. Dan malam itupun berakhir dengan pakaianku yang dipelorotinya.

Burung-burung menyanyi riang merayakan pagi yang telah kembali. Orang-orang kembali sibuk berlalu-lalang meramaikan bumi yang seakan baru kembali dari mimpi panjangnya. Sebuah bel terdengar begitu nyaring membangunkanku. Sudah tidak ada lagi orang yang semalam bersenang-senang menikmati tubuh saya disamping.

Pak pos mengantarkan surat yang ternyata dari Ibu di kampung. Sekelebet pertanyaan seperti kapan pulang membuat saya menyesal telah membukanya. Namun, saat saya ingin kembali tidur, sebuah kertas terpampang di meja rias saya.

Jam 9 nanti aku jemput.
yang cantik ya, sayang.

Saya terharu membacanya. semalam, setelah kembali merasakan nikmatnya birahi, Rudy meminta saya untuk membunuh sebuah nyawa yang telah tumbuh di rahim ini. dia mengatakannya sangat berhati-hati sekali, seakan-akan itu akan menyakiti perasaan saya. Saya cuma mengangguk saja dan selanjutnya kami tertidur. Mungkin Dia tidak tahu. Asalkan bisa tetap bersamanya, Apapun itu, denngan senang hati saya melakukannya.

Sebuah pesan kembali masuk ke ponsel saya. Lagi-lagi, saya menemukan kata 'jangan' darinya. Sebuah kata yang sama dengan pengucapan yang mungkin berbeda. saya bisa meraasakan, dengan senyuman terindahnya, dia ketikkan dan kirimkan kepada saya sebuah pesan yang takkan pernah saya lupa.

"Jangan lupa ya, sayang."