Sabtu, 02 November 2013

Ototku lemah. Otak, Sadarlah!

Hari ini aku bangun pagi. Entah ada gerangan apa, padahal aku tidak berniat sebelumnya. Mungkin saja Tuhan memberi aku kesempatan untuk merubah kandang babi kembali menjadi kandang manusia yang aku tempati. Ya, tentu saja. Kenapa tidak?

Sudah baca kembang pasir yang aku tulis sebelumnya, belum? Itu adalah sebuah kebohongan yang tidak semuanya bohong. Diawali oleh fiksi dan diakhiri oleh fakta. Fakta yang semakin memperkuat status kamarku menjadi kandang babi (Itu cuma majas hiperbola saja, ya. jangan terlalu di anggap sebenarnya). Dengan selembar duit pecahan Dua Ribu Rupiah, Satu receh pecahan Lima Ratus Rupiah dan sisanya lima pecahan Seratus Rupiah, aku bulatkan niatku untuk berkunjung ke warung terdekat.


"Detergen satu, pengharumnya dua ribuan, a."

Setelah mengucapkan kata-kata ajaib itu, pikirankku langsung saja ingin cepat-cepat kembali ke kosan. Ku buka seprei kasurku, ku jemur di luar. lalu seprei dan selimutnya aku bawa ke toilet. Aku menggabungkannya dengan setumpuk bajuku yang sudah terendam air selama lebih dari tiga hari, sehingga aromanya mampu membuat nafsu kamu bertambah. Nafsu untuk muntah, maksudnya.

Pertama dan utama sekali, detergennya aku masukkan ke sebuah ember yang telah terisi air setengahnya. Setelah menyebut nama Tuhan dan meminta izin kepada penunggu setempat, barulah aku bergerak dengan mencuci baju-bajuku terlebih dahulu.

Aku bersyukur karena baju-bajuku sebenarnya hanya cukup beberapa kali bilas saja dan tidak perlu tenaga ekstra untuk menghapus daki-dakinya, karena memang aku termasuk tipe orang yag sering mengganti pakaian, sehingga tidak pernah terlalu kotor (Hal ini tidak berlaku untuk baju putih, itu juga alasan kenapa aku hanya punya satu baju putih).

Kurang dari sepuluh menit, aku sudah menyelesaikan itu semua, termasuk sepreiku yang berwarna biru unyu. Selanjutnya, aku mulai beralih kearah selimutku yag berwarna merah pekat.

Kembali kupegang bros dan kusikat selimut itu dengan kasih sayang, beberapa detik kemudian dilanjutkan dengan memasukkannya kembali kedalam ember. ku coba cara lain, Ku injak-injak dengan sepenuh hati. Untungnya itu bisa bertahan sampai mungkin 3 menit. Ya iyalah, kebayang ga, masa selimut setebel itu aku yang sikat, sih?

Proses demi proses aku lalui. Satu langkah lagi, aku akan bertemu dengan proses penjemuran, tapi harus melewati proses pemerasan tentunya. Nah, ini yang paling berat. aku harus memeras sebuah selimut yang terlalu besar untukku sendirian.

Beberapa minggu yang lalu, aku juga pernah melakukan hal yang sama dengan selimut yang sama di tempat yang sama, bedanya aku cuma memerasnya saja dan dilakukan berdua dengan temanku Diki. Sedangkan yang mencucinya adalah Ninit dan Refa yang tanpa diminta mau melakukannya dengan senang hati. Sebenarnya itu si untnuk keperluan Shooting TDM yag memanfaatkan kamarku. Entar deh aku tulis tentang ini.


Mau tahu rasanya? Tiba-tiba aku merasakan tanganku terasa sedikit mengeras. mungkin itu karena otot yang tidak pernah saya pakai untuk melakukan pekerjaan berat. terakhir kali, hal berat yang pernah saya lakukan dengan otot hanyalah berjalan kaki.

Setelah melewati proses yang paling menyiksa ini, aku segera membawanya keluar untuk dikeringkan bak teri yang mencintai cahaya matahari.

Baru saja melakukan hal ringan yang mungkin bukan apa-apa bagi kamu, tapi tanganku langsung seperti itu. Oya, aku pernah membawa suatu barang yang tidak berat tapi besar. Perjalanan yang jauh meggunakan motor membuat aku terpaksa memegangnya cukup lama, walaupun kurang dari 30 menit, tapi setelah itu tanganku langsung terasa lemah seperti kurang darah. "Aduh, cemen banget sih?"

Ya, makanya. Aku yang merasa sangat kurang dalam hal otot berharao mempunyai kelebihan dalam ha otak. Sebagai penjelasan yang lebih terang, saya Highlight, ya, Lebih dalam hal otak, bukan berarti hebat dalam berMatematika-ria. okeh?

"Beraje megeng paho!
 Idok jadi uho sagih, bisa awok ging ka ahek."

Itu kata Nenek beberapa tahun yang lalu. Bahasa prancis itu artinya;

"Pelajari, gimana caranya menggunakan Golok.
  Entar, kalau tidak sukses kamu bisa ke kebun."

Kata-kata tersebut keluar dari mulut Nenekku (yang Notabene punya jiwa laki-laki dan bisa melakukan apa saja yang bisa dikerjakan laki-laki disana) saat kulit jempolku lecet dan membengkak (entah apa namanya, saat kulit jarimu sepertinya melonggar dan beberapa hari kemudian membengkak karena terisi air tapi tidak sakit) setelah menggunakan golok beberapa menit untuk memotong tebu. Padahal aku saat itu sudah menginjak kelas 3 SMA. Sebagai perbandingan, Abang-abang sepupuku sudah bisa membuat mainan pistol-pistolannya sendiri hanya berbahan Kayu dan Golok serta beberapa karet saat mereka di kelas 3 SD.

Melihat lingkungan sekitarku, pantas Nenek berbicara seperti itu yang berarti dia peduli terhadapku. Tapi, Aku berharap aku punya jalan lain untuk ditempuh, yang mungkin tidak pernah mereka duga sebelumnya. Itulah, kenapa aku berharap Otakku cukup. Cukup untuk menggapai Mimpi dan membuat imajinasi-ku menjadi nyata. Jalanku masih panjang, dan karena itu jalanku, Akulah yang menunjuk kemana arahku.


Tidak ada komentar: