Jumat, 01 November 2013

Sampaikan Terimakasihku



Seorang nenek terlihat sedang panik dan bingung. Wajahnya yang pucat dapat menjelaskan kalau dia sedang kehilangan sesuatu yang jauh lebih berharga dari sejumlah belanjaan yang ada di tangan kanannya. Sesekali ia mengusap-usapkan keningnya seperti mengutuk dirinya sendiri, Sesekali ia bertanya kepada orang disekitar sambil memeragakan sesuatu. “Pake baju kuning, tingginya sepinggang,” semua yang ditanyanya selalu menggeleng.


Siang begitu menyengatnya, tapi dia tidak terlalu memperdulikannya. Yang ia inginkan saat ini tidak lain adalah seseorang yang dicarinya itu selamat. Kantor Polisi pun terbayang dibenaknya. Saat itu juga dia langsung melangkah dengan cepat menuju ke utara. Tanpa ia sadari, seikat sayur dari tas kreseknya terjatuh dan terabaikan begitu saja.

“Tolong, pak. Itu cucu saya satu-satunya,” rengeknya kepada petugas yang sedang melayaninya. Seorang pria yang terllihat berwibawa dengan bersabar mencoba menjelaskan bahwa polisi akan mulai bertindak apabila sudah melebihi dua hari kehilangannya. Tapi Nenek itu bersikeras supaya cucunya segera ditemukan hari ini. Akhirnya petugas tersebut memberi ide untuk menjemput Ibu dan Bapak dari anak itu untuk segera kesini. Nenek tersebut menerima penjelasannya dan meminta izin untuk pulang sebentar. Tumpangan yang ditawarkan oleh petugas tersebut ditolak oleh nenek itu karena dia meresa lebih senang pulang sendiri.

Melewati sebuah taman, nenek teresebut merasa letih dan istirahat sejenak, Walaupun rumahnya sudah dekat dari sana. Dipilihlah sebuah bangku taman yang tidak jauh dari tempatnya berdiri untuk duduk. keringatnya sudah kering, tapi wajah pucatnya masih terlihat. Dia bingung apa yang akan dijelaskannya kepada anaknya? Walaupun anaknya sayang kepadanya, tapi mungkin saja berita ini bisa membuatnya malah dibenci oleh anaknya sendiri. Tapi lebih dari itu, dia juga tak ingin kehilangan cucunya.

“Nenek, sini!” wanita itu kaget dan langsung menoleh ke sumber suara. Tapi ternyata itu bukan suara cucunya. Seorang anak kecil yang sedang meniupkan gelembung terlihat begitu senang bermain bersama neneknya. Pemandangan yang sungguh harmonis itu membuat wanita ini hampir meneteskan air matanya. Ia segera berdiri dan melanjutkan perjalanannya dengan tergesa-gesa. Barang-barangnya di genggamnya lagi.

“Nenek!” kali ini suaranya sudah tidak asing. Benar, cucunyalah yang telah memanggilnya. Kaget bercampur gembira, wanita itu langsung berlari ke anak itu dan memeluknya, “Kamu kemana aja, sih? Nenek panik tahu!” dicubitnya dengan lembut pipi anak itu. anak kecil itu tersenyum menggodanya. Tangan kanannya memegang sebuah mobil-mobilan.

“Elsa, itu kamu dapat darimana?” cucunya yang dipanggil Elsa tersebut tersenyum dan melirik kesekelilingnya seperti mencari sesseorang. Tapi dia diam saja. Hal yang paling ditakutinya adalah cucunya mencuri barang orang. Wanita itu mengambilnya dengan halus dari tangan sang cucu dan membiarkan itu tergeletak ditanah. Cucunya Cuma diam tidak berbuat apa-apa. Saat tangannya ditarik lembut mengikuti langkah neneknya, dia masih saja memperhatikan barang yang dibuang oleh Neneknya. Seseorang memungut barang tersebut dan mengejar mereka berdua.

“Maaf, Buk,” ujarnya berniat menghentikan jalan wanita itu, “Kalian mungkin melupakan sesuatu?” Sang Nenek merasa dipanggil dan membalikkan badannya. Pria yang juga sudah tua tersebut menunjukan sesuatu kepadanya. Cucunya tiba-tiba berteriak senang seolah sudah pernah bertemu dengannya sebelumnya.

“Tidak,” Ujar Sang Nenek dengan halus menolak, “Itu bukan punya kami. Lagian cucu saya perempuan. Bukan mainan yang cocok untuknya.” Wanita itu berbalik lagi untuk kembali berjalan. Tapi ia merasakan sesuatu yang sangat aneh. Sesuatu yang tidak bisa ia katakan apa. Dia seperti mengenal sosok pria itu. seiring langkahnya semakin jauh, penasarannya semakin meningkat. Tapi, tak ada sedikitpun niatnya untuk berpaling kebelakang lagi, setidaknya sebelum dia melihat tingkah cucunya. Sang cucu sedang berjalan sambil menyanyikan lagu naik-naik ke puncak gunung dengan ceria. Tangan kirinya sedikit terangkat karena sedang memegang tangannya yang lebih tinggi darinya. Sedangkan tangan kanannya memegang buah kalungnya sendiri yang berbentuk bulat seperti mutiara. Saat itu juga, Wanita itu berpaling kebelakang dan mencari sosok pria yang tadi menemuinya.

Pria yang tadi masih bisa terlihat jelas olehnya, walaupun sedang berjalan berlawanan arah dengannya dan sedang membelakanginya. Bersama cucunya, dia kembali untuk mendekati pria itu hanya untuk memenuhi rasa penasarannya.

“Maaf,” Ujar sang nenek yang mengagetkan pria itu, “Saya melihat ekspresi cucu saya sungguh jauh berbeda saat dia memegang mainan itu dan saat setelah meninggalkannya. Bolehkah saya memintanya kembali?”

“Oh, tentu,” Ujar Pria tua itu dengan senang, “dan sebenarnya, Mobil kecil ini memang punyanya. Aku membeli khusus untuknya beberapa jam yang lalu. Aku melihat dia sedang berjalan sendiri disekitar sini dan sepertinya menginginkan ini di toko itu. untungnya aku ada disana sebelum dia diusir oleh yang punya took.”

“Terimakasih,” Ujar nenek tersebut dengan malu, “Memang, aku yang salah karena sudah lalai melepaskan tangannya selama dipasar.” Pria tersebut menyerahkan mobil itu kepada Elsa yang langsung dengan senang diterimanya, “Bolehkah kita berbincang sebentar?”

Mereka berdua duduk disalah satu kursi ditaman itu. keduanya sama canggungnya untuk sekedar memulai percakapan. Lama sekali mereka diam dan hanya menyaksikan Elsa yang asyik dengan mainan barunya.

“Kenapa kau membelikannya untuk cucuku?” sang Nenek bertanya dengan sedikit canggung. Mendengar itu, sang Pria langsung menjadi gugup. Dia tidak tahu apa yang harus dijawabnya. Dia menghembuskan nafasnya cukup lama, sepertinya untuk menambah keberanian menjawab pertanyaan itu, “Ah, aku merasa ada sesuatu yang menarik dimata cucumu itu.” mereka tidak saling berpandangan. Mereka berbicara tapi tatapannya lurus kedepan mengawasi Elsa.

“Apakah karena kau melihat kalungnya?”

“E-e, mungkin. Tapi lebih mungkin lagi aku salah orang.” Pria tua itu seperti ingin memandang wajah sang Wanita tua disampingnya. Tapi, ia masih ragu. Sedangkan wanita itu diam seperti sedang mengolah kata untuk kemudian diucapkan.

“Tidak,” wanita itu seketika menunduk. Lalu beberapa detik kemudian menengadahkan wajahnya kelangit yang saat itu sudah hampir mendung. Dia menahan airmatanya yang hampir mengalir deras. Dengan penuh keberanian dia menatap pria yang disampingnya yang sedang memandang Elsa, “Kamu tidak salah orang. Dia cucu kita.”

Petir menyambar beberapa saat kemudian. Pria itu tidak bereaksi apa-apa seperti sudah tahu itu jawabannya. Wajahnya menyimbolkan kebingungan yang memiliki banyak cerita yang harus disampaikan, tapi tidak tahu harus berawal darimana, “Aku tahu.”

“Cuma itu jawabanmu?” Nada suara wanita itu seperti menyimpan sejuta kepedihan yang telah menumpuk berpuluhan tahun lamanya, “Datang setelah empat puluh tahun menghilang hanya untuk berkata ‘aku tahu’ dan memberi sebuah mainan plastik kepada cucu kita? Tidakkah kau mengerti betapa sengsaranya aku ditinggalkan olehmu?” sekali lagi petir menyambar seolah mendukung pernyataan sang wanita itu yang disampaikan penuh amarah namun tetap tenang.

“kau tidak meninggalkan ataupun mengirimkan sesuatu untuk aku dan anakmu,” air mata yang sejak tadi tertahankan namun akhirnya menetes juga, “dan ternyata, selama ini kau pergi ke Kota ini. Kalau seandainya aku tahu, lebih baik dulunya aku tidak pindah kesini.”

“Memang seharusnya tidak,” Ujar pia itu yang membuat kaget setengah mati wanita disampingnya, “kalau kamu tidak pindah kesini, mungkin dua puluh lima tahun yang lalu aku bisa bertemu denganmu dan hidup bahagia kembali seperti dulu.”

“apa maksudmu?” ujar Sang Wanita tidak mau kalah, “kau pikir aku rela menerimamu kembali setelah lima tahun menghilang tanpa berita?”

“Mungkin iya, kalau kamu tahu aku dari mana,” saat itu juga, sang pria tua itu memberanikan diri melihat wajah sang wanita tua itu yang ternyata juga sedang melihat kearahnya. Matanya basah tapi tidak terlihat cengeng. “apakah kamu berpikir aku tidak mencintaimu? Hanya menikahimu karena harta ayahmu, lalu pergi setelah mendapatkan apa yang aku inginkan dan meninggalkan kamu dan anak kita? Itukah yang tertulis di pikiranmu? Sekejam itukah aku dimatamu sekarang? Ternyata, racun dari keluargamu sudah tertancap dalam dilubuk hatimu untuk membenciku.”

“Aku tidak mau tahu,” ujar sang wanita tidak mau kalah, “Kamu pergi kemana dan menikahi wanita kaya mana lagi untuk memuaskan nafsumu. Tapi sungguh tega kamu mejelekkan nama keluargaku yang sudah memeliharaku setelah ditinggalkan secara keji olehmu.”

Sang pria terdiam. Matanya dipejamkan cukup lama seperti menahan air matanya untuk tidak menetes didepan wanita yang pernah menjadi isterinya itu, “Empat puluh tahun kita berpisah. Setidaknya kita punya jalan hidup masing-masing. Aku tidak menyalahkan tuhan atas pertemuan ini. Tapi, sangat disayangkan kalau pertemuan ini hanya untuk membuat kita saling membenci.”





“Aku pantas membencimu.”

“Kalau begitu, aku pantas membenci keluargamu yang telah membuatmu benci kepadaku.”

“kau selalu membawa nama keluargaku yang telah merawatku. Seharusnya kau harus berterimakasih kepada mereka.”

“kalau itu maumu,” pria itu berujar dengan pasti, “sampaikan ucapan terimakasihku kepada keluargamu yang masih hidup yang telah memberiku pengalaman lima tahun tanpa alasan untuk mencicipi dinginnya lantai penjara. Dan yang telah membuatmu pindah ke Kota ini sehingga saat aku keluar dari penjara aku tidak bisa menemukanmu. Dan yang paling penting, ucapkan terimakasihku kepada mereka yang telah berhasil membuat aku dibenci olehmu.”

Suara Pria tua itu mulai meninggi karena sudah begitu lama derita itu ditahannya. Namun kemuadian menurun lagi, “Dan untukmu, Siti. Terimakasih karena kamu pernah percaya kepadaku dan pernah menjadi istriku—dan juga telah menjaga kalung pemberianku yang tidak ada harganya sama sekali”

“Aku pamit pulang,” Ujar pria tua itu dengan berat sambil mengangkat tubuhnya berdiri, “bawalah gadis itu pulang segera sebelum kehujanan.” Lalu pria itu pergi dan menjauh dari taman itu.



Wanita itu terdiam tidak bisa berkata apa-apa. Pikirannya saat itu bercabang sangat banyak. Dia hanya terduduk diam di kursi itu. semua bayangan masa lalu puluhan tahun yang lalu datang kembali membawa ribuan tangisan yang mengalir bak sungai yang habis tersiram hujan. Ia menyesal, betapa terlambatnya ia mengetahui rencana jahat orang tuanya yang telah merenggut kebahagiaannya. Dia menyesal, karena tidak peka terhadap keadaan. Dia menyesal karena mengikuti nasihat keluarganya untuk pindah ke Kota ini. Dan ia menyesal karena tidak mencoba mencari tahu kemana suaminya pergi. dan dia juga menyesali karena telah mempercayai semua ucapan keluarganya. Sekarang, dia sudah terlalu tua untuk merajut kembali cita-citanya dulu bersama sang Pujaan. Dan suaminya yang dirumah sudah menungunya untuk mempersiapkan makan malam. Cucunya yang polos mendekatinya karena bingung. Dia memeluk neneknya dengan kuat. Sekali lagi petir terdengar berteriak perih.

Tidak ada komentar: