Senin, 06 Januari 2014

Dalam Sudut Pandang Bahasa

Sore yang tidak terlalu mendung itu menjadi saksi keberadaan saya di tempat tinggal salah satu teman kuliah saya. N namanya dan dengan orang yang bernama N pula saya mengunjunginya. Sekilas suasananya sedikit asing. Kamar sewaannya kosong tak seperti biasanya. Semua aset yang dia miliki kini telah dia pindahkan ke tempat tinggal barunya yang lebih besar dan murah.


Pada awalnya memang kedatangan kami adalah untuk menawarkan diri. Tapi, karena sudah tidak ada lagi yang dikerjakan, kamipun hanya mengobrol kesana kemari. Maka obrolanpun sampai pada selembar kliping. Sebuah potongan dari surat kabar lokal di Bandung. Tulisan yang ternyata ditulis oleh N itu mengenai tentang angkot di Kota Bandung.

Permasalahan pun muncul. Bukan tentang angkot ataupun tentang Kota Bandung itu sendiri. Melainkan tentang Bahasa Indonesia. Sebuah kata 'Nge-time' sangat menarik perhatian. Saya sedikit syok melihat kata tersebut. Asing dan canggung. Saya tidak menyangka, ternyata bahasa sehari-haribyang sering saya dan teman-teman pakai yaitu 'ngetem' ternyata berawal dari kata 'nge-time'.

Saya membuka pertanyaan kepada N bagaimana dia tahu tentang itu. Diluar dugaan saya, ternyata pada awalnya yang ditulis oleh N adalah bahasa sehari-hari yang sering kami pakai. Tapi dari pihak redaksi dibenarkan menjadi "Nge-time". Dibenarkan? Tunggu dulu. Mungkin kata yang lebih tepatnya adalah dirubah. Karena menurut saya keduanya sama-sama benarnya. Hanya saja cara pembacaannya yang sedikit berbeda. Masyarakat yang tidak terlalu paham Bahasa Inggris biasanya sering menggunakan huruf 'e' untuk menyebut huruf 'i' yang dalam tata bahasajya seharunya dibaca 'ai'. Seperti kata 'sign' dibaca 'sen', lalu 'line' dibaca 'len'. Dan banyak contoh lagi. Dalam bahasa inggris mungkin tidak terlalu salah. Walaupun pada kenyataannya terdengar sedikit aneh. Bahkan seorang rapper seperti Pit Bull mengeja hal-hal seperti itu dengan kata 'e'. Entag itu disengaja atau memang begitu dialegnya, entahlah. Yang jelas masih bisa dimengerti. Dan selama masih bisa dimengerti maka fungsi bahasa tersebut tercapai. Tapi sayangnya, saya menemukan adanya rasa minder atau kurang percaya diri dengan apa yang kita miliki. Bisa dilihat contoh dari para anak-anak muda di Indonesia. Betapa bangganya mereka saat bisa berbahasa inggris atau bahasa asing lainnya sampai bisa meniru dialeg aslinya. Tapi, terkadang malah ada orang yang mengejek yang lainnya karena bahasa inggris/asing lainnya masih terdengar mungkin agak sedikit kejawa-jawaan atau kesunda-sundaan. Bahkan parahnya, ada kasus dimana seseorang malah bangga karena tidak bisa berbahasa daerah. Bukankah itu suatu bentuk pemikiran yang memalukan? Begitu juga dengan hal diatas. Menurut saya, kenapa bahasa seperti 'ngetem' atau lampu 'sen' tidak ditulis sebagai mana mereka terdengar? Bukankah itu bisa memperkaya perbendaharaan bahasa kita? Itu bis saja menjadi bahasa serapan untuk kita.

Dalam pemikiran saya, selama negara ini masih memiliki rasa yang kurang percaya diri terhadap jati dirinya sendiri, sampai kapanpun tidak akan pernah maju. Dan sampai kapanpun tidak akan pernah tidak untuk menjadi negara pengikut.  


Tidak ada komentar: